BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kesehatan lingkungan merupakan
faktor penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan merupakan salah
satu unsur penentu atau determinan dalam kesejahteraan penduduk. Di mana
lingkungan yang sehat sangat dibutuhkan bukan hanya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, tetapi juga untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan
efisiensi kerja dan belajar.
Pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi
kehidupan manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang
memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini,
khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Kawasan pesisir juga dipahami sebagai Kawasan tempat
bertemunya berbagai kepentingan, baik Masyarakat, Pemerintah Kabupaten, dan
Investor dalam rangka memanfaatkan potensi kawasan pesisir. Kawasan Pesisir
adalah kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sangat potensial
sebagai modal dasar pembangaunan nasional.
Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang
kebijakan kepesisiran, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, watak
masyarakat, serta tekanan biaya hidup menyebabkan masyarakat pesisir sering
melakukan perusakan lingkungan pesisir (Primyastanto, Dewi, & Susilo,
2010). Hal ini diperkuat bahwa kerusakan pesisir lebihdipengaruhi oleh faktor
alam dan manusia (Gumilar, 2012). Hiariey & Romeon (2013)menambahkan
tingkat pendidikan, persepsi dan pendapatan mempengaruhi kepentinganterhadap
pemanfaatan wilayah pesisir. Pengaruh pendapat masyarakat terhadaplingkungan
merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku yang nyata
darimasyarakat itu sendiri dalam menciptakan perubahan dalam lingkungan mereka
(Heddy,1994). Adanya interaksi antara manusia dengan alam juga menyebabkan
degradasi eksosistem (Vatria, 2010).
Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut
lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU
nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan
bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut
undang-undang. Namun di masa reformasi, dengan kelahiran UU Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur
wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain
itu juga diterbitkan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
1.1 Rumusan
Masalah
Bagaimana Peran Vektor?
Apa Permasalahan
Masyarakat di Wilayah Pesisir?
Bagaimana
Pengendalian Vektor di Wilayah Pesisir?
1.2 Tujuan
Mengetahui
Peran Vektor
Mengetahui
Permasalahan
Masyarakat di Wilayah Pesisir
Menjelaskan
Bagaimana Pengendalian
Vektor di Wilayah Pesisir
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Peran Vektor
Secara
definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai
penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor
dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini
sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak
akan menyebar. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam
penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekananis selalu
mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif,
artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen
patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor
ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan
vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif.
Vektor biologis, dimana agen
penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada
vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah
adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum.Larva
(miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan
selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang akan keluar dari
tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi
dermatitis (SOULSBY, 1982).
Vektor mekanis, dimana agen penyakit
tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak
seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu
kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus
sering menggigit hospesny agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100
gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria.
Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada
manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit
dekat mulut. Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit
Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah
Triatoma bugs. Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara
hewan rodensia. Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan
manusia.
2.2
Permasalahan Masyarakat di Wilaya Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam
pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi fisik
habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan
lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Permasalahan
yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di
Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan
manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.
1. Pemanfaatan Ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu
memperhatikan keterpaduan dan keserasian berbagai macam kegiatan. Sementara itu
batas kegiatan perlu ditentukan. Dengan demikian pertentangan antar kegiatan
dalam jangka panjang dapat dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan
wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi,
pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah dan air
limbah.
Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi
dapat berjalan untuk jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan
pertentangan mulai timbul dengan berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui
daya dukung lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi
dengan teknologi mutakhir. Akan tetapi perlu dijaga agar cara pemecahan itu tidak
mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.
2. Pemanfaatan Tak Seimbang
Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan
wilayah pesisir di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya
tersebut,
ditinjau dari sudut penyebarannya
dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari ketimpangan pola
penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan keunggulan komparatif
(comparative advantages) keaadaan sumberdaya wilayah pesisir Indonesia.Pengembangan
wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga memperhatikan kondisi
ekologis setempat dan faktor-faktor pembatas. Melalui perencanaan yang baik dan
cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi, perubahan tata ruang tentunya
akan menjurus kearah yang lebih baik.
1. Pengaruh Kegiatan Manusia
Pemukiman disekitar pesisir
menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang
sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai dengan keadaan
lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan
ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan
dan industri, merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah
pesisir.
Tekanan
penduduk yang besar sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, pencemaran
perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya proses erosi, kesehatan
masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Karena
itu,perlu diperolehpengertian dasar tentang proses perubahan yang terjadi di
wilayah pesisir. Dengan demikian,pemanfaatan sumber daya yang terkandung di
dalamnya dapat dikelola dengan baik. Perlu dihayati pula bahwa sekali habitat
atau suatu ekosistem rusak maka sukar untuk diperbaiki kembali.
Selain beberapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya
kerusakan lingkungan pesisir dan laut, juga terdapat faktor lain. Kegagalan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan
dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
Pertama akibat adanya
kegagalan kebijakan (lag of policy) yang menjadikan aspeklingkungan hanya
menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan
segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product,
sanitary safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari kegagalan kebijakan
tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan penambangan pasir laut. Di satu
sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang
investasiterlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan
dampak yang cukupsignifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayandan
pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan
oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena
karakteristik wilayah pesisirbersifat dinamis.
Kedu,
adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari kegagalan
pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi
keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat terjadi akibat kurangnya
kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara
sepihak, disamping kurangnya kapasitasdan kapabilitasmasyarakat untuk
memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban
mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut
semakin memperburuk posisi tawar (bargaining position)masyarakat sebagai
pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat
melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang
perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasieksternalitas dari
kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang membuang
limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut atau
kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi minyak yang tersembunyi,
dan sebagainya.
Ketiga,
penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada masih bersifat parsial dan
kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existenceantar variabel
lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi
terabaikan. Misalnya, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang
dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek
mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang
persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di
daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat
dinamis.
Jika dilihat dari sumber (asal)
kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan ada yang dari luar system wilayah
pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran berasal
dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak,
perhotelan, pemukiman dan industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan
juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas.
Sumber pencemaran perairan pesisir dan laut biasa terdiri
dari limbah industri, limbah cair pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan
(urban stormwater), pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya.
Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa:
sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida,
organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substances
(bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri,
pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif
bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak
yang terjadi kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari
jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih
banding dan udang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap bahan-bahan
yang akan dibuang ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir yaitu :
1.
Macam,
sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
2.
Kemampuan
daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi oseanografi
setempat.
3.
Kemungkinan
interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan buangan dengan
lingkungan perairan.
lingkungan perairan.
4.
Pengaruh
bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
5.
Proses
degradasi dan perubahan biogeokimia;
6.
Prognose
terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari depan;
2.3
Pengendalian Vektor di Pesisir
Pengendalian
vektor adalah tindakan untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang
ditimbulkan oleh Arthropoda penular penyakit termasuk reservoir (Depkes, 2006).
2.3.1 Pengendalian Vektor
a. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan
cara terbaik untuk mengontrol arthopodakarena hasilnyadapat bersifat permanen.
contoh, membersihkan tempat-tempathidup arthopoda.
b. Pengendalian Kimia
Padapendekatam ini,dilakkan
penggunaan beberapa golongan insektesida seperti golongan organiklorin,
golongan organofosfat, dan golongan karbamat.namun, penggunanan insektisida ini
sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan.
c. Pengendalian Biologi
Pengendalian Biologi di tunjukan
untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang besal
dari bahan-bahan beracun.contoh, pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan.
d. Pengendalian Genetik
Dalam pendekatan ini, ada beberapa
teknik yang dapat di gunakan, di antaranya stril technique, chitoplasmic incompatibility, dan chromosomal translocation.
Hal lain yang di lakukan untuk
pengendalain vector di pesisir
a.
Migrasi burung
Masyarakat diharapkan mewaspadai, dan berhati-hati
terhadap burung yang berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Sebab,
kemungkinan burung membawa virus flu burung. Mengingat, burung-burung tersebut
biasanya tersebar di pantai laut Pulau Jawa dan daerah lain yang banyak
persediaan makanan burung.
Masyarakat harus melakukan gerakan lingkungan bersih dan
sehat dalam menjaga kesehatannya. Dengan cara mengadakan semprotan pembasmi
bakteri vaktogen dan obat insektisida untuk membunuh lalat dan larvanya dilaksanakan
rutin seminggu sekali. Penyemprotan dikhususkan pada rumah penduduk di tepi
pantai, pasar ayam, tempat pemotongan, dan kios ayam. penyemprotan
disinfektan ini dilakukan sebagai upaya awal untuk mencegah dan menghambat
berkembangnya virus flu burung.
b.
Pencegahan Vektor Masuk Di Daerah
Pantai Atau Pesisir Melalui Kapal
Pencegahan vektor masuk di daerah pesisir atau pantai
dengan dilaksanakannya program disinseksi yaitu untuk menghindari kapal dari
serangga/vektor penyebab/penular penyakit (tikus, kecoak, nyamuk Aedes
Aegypti/Anopheles) yang terbawa oleh alat angkut penumpang/barang di Pelabuhan.
Prosedur Tindakan Disinseksi Berdasarkan Peraturan Dirjen
PP & PL
1. Penggunaan alat pelindung diri sebelum melakukan
tindakan disinseksi misalnya, sarung tangan, masker, sepatu boat, dll
2. Penggunaan peralatan untuk disinseksi, misalnya, hand
sprayer, mist blower, dan electric sprayer.
3. Pelaksanaan disinseksi dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk bagian-bagian kapal yang tersembunyi seperti
lubang-lubang kecil di lantai dan tempat-tempat sulit menggunakan hand sprayer
ataupun mist blower.
b. Untuk ruang lebar terbulca menggunakan ULV electric
sprayer.
c. Mengisi formulir isian yang memuat data tentang nama
bahan pestisida/insektisida yang digunakan volume berat bahan pestisida yang
digunakan, bahan pelami, catatan (waktu, hari dan tanggal pelaksanaan), nama
petugas pelaksana dan supervisor yang bertanggungjawab.
d. Membuat laporan pelaksanaan secara tertulis.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput
air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada
beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di
Indonesia antara lain adalah
pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi
pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan
bencana alam. Pengendalian vektor adalah tindakan untuk mengurangi
atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh Arthropoda penular penyakit
termasuk reservoir
1.2 Saran
Pengendalian
vektor di wilayah pesisir bukanlah hal yang mudah, karena itu di harapkan
partisipasi pemerintah, sekarang saatnya melirik dan memperhatikan wilayah
pesisir, mengingat begitu banyak potensi di wilayah tersebut termasuk sebagai
tempat wisata bahari. Karena itu daerah pesisir pun harus diperhatikan tingakat
kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra budiman, “Pengantar Kesehatan Lingkungan”,
Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar