Rabu, 23 November 2016

PENGENDALIAN VEKTOR DI PESISIR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan merupakan salah satu unsur penentu atau determinan dalam kesejahteraan penduduk. Di mana lingkungan yang sehat sangat dibutuhkan bukan hanya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja dan belajar.
Pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kawasan pesisir juga dipahami sebagai Kawasan tempat bertemunya berbagai kepentingan, baik Masyarakat, Pemerintah Kabupaten, dan Investor dalam rangka memanfaatkan potensi kawasan pesisir. Kawasan Pesisir adalah kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sangat potensial sebagai modal dasar pembangaunan nasional.

Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kebijakan kepesisiran, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, watak masyarakat, serta tekanan biaya hidup menyebabkan masyarakat pesisir sering melakukan perusakan lingkungan pesisir (Primyastanto, Dewi, & Susilo, 2010). Hal ini diperkuat bahwa kerusakan pesisir lebihdipengaruhi oleh faktor alam dan manusia (Gumilar, 2012). Hiariey & Romeon (2013)menambahkan tingkat pendidikan, persepsi dan pendapatan mempengaruhi kepentinganterhadap pemanfaatan wilayah pesisir. Pengaruh pendapat masyarakat terhadaplingkungan merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku yang nyata darimasyarakat itu sendiri dalam menciptakan perubahan dalam lingkungan mereka (Heddy,1994). Adanya interaksi antara manusia dengan alam juga menyebabkan degradasi eksosistem (Vatria, 2010).
Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun di masa reformasi, dengan kelahiran UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1.1  Rumusan Masalah
 Bagaimana Peran Vektor?
Apa Permasalahan Masyarakat di Wilayah Pesisir?
Bagaimana Pengendalian Vektor di Wilayah Pesisir?

1.2  Tujuan
Mengetahui Peran Vektor
Mengetahui Permasalahan Masyarakat di Wilayah Pesisir
Menjelaskan Bagaimana Pengendalian Vektor di Wilayah Pesisir






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peran Vektor
Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekananis selalu mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif.
Vektor biologis, dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum.Larva (miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang akan keluar dari tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi dermatitis (SOULSBY, 1982).
Vektor mekanis, dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus sering menggigit hospesny agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria.

Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit dekat mulut. Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah Triatoma bugs. Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara hewan rodensia. Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan manusia.

2.2 Permasalahan Masyarakat di Wilaya Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.
1.   Pemanfaatan Ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan keserasian berbagai macam kegiatan. Sementara itu batas kegiatan perlu ditentukan. Dengan demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka panjang dapat dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi, pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah dan air limbah.
 Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul dengan berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui daya dukung lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan teknologi mutakhir. Akan tetapi perlu dijaga agar cara pemecahan itu tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.
2.   Pemanfaatan Tak Seimbang
Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya tersebut,
ditinjau dari sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari ketimpangan pola penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantages) keaadaan sumberdaya wilayah pesisir Indonesia.Pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga memperhatikan kondisi ekologis setempat dan faktor-faktor pembatas. Melalui perencanaan yang baik dan cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi, perubahan tata ruang tentunya akan menjurus kearah yang lebih baik.
1. Pengaruh Kegiatan Manusia
Pemukiman disekitar pesisir menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan dan industri, merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah pesisir.
Tekanan penduduk yang besar sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya proses erosi, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Karena itu,perlu diperolehpengertian dasar tentang proses perubahan yang terjadi di wilayah pesisir. Dengan demikian,pemanfaatan sumber daya yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dengan baik. Perlu dihayati pula bahwa sekali habitat atau suatu ekosistem rusak maka sukar untuk diperbaiki kembali.
Selain beberapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan pesisir dan laut, juga terdapat faktor lain. Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
 Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) yang menjadikan aspeklingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari kegagalan kebijakan tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasiterlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang cukupsignifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayandan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisirbersifat dinamis.
            Kedu, adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitasdan kapabilitasmasyarakat untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk posisi tawar (bargaining position)masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasieksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi minyak yang tersembunyi, dan sebagainya.
            Ketiga, penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada masih bersifat parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existenceantar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan ada yang dari luar system wilayah pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak, perhotelan, pemukiman dan industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas.
Sumber pencemaran perairan pesisir dan laut biasa terdiri dari limbah industri, limbah cair pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa: sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak yang terjadi kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih banding dan udang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir yaitu :
1.      Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
2.      Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi oseanografi setempat.
3.      Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan buangan dengan
lingkungan perairan.
4.      Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
5.      Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
6.      Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari depan;




2.3 Pengendalian Vektor di Pesisir
Pengendalian vektor adalah tindakan untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh Arthropoda penular penyakit termasuk reservoir (Depkes, 2006).
2.3.1 Pengendalian Vektor
a. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthopodakarena hasilnyadapat bersifat permanen. contoh, membersihkan tempat-tempathidup arthopoda.
b. Pengendalian Kimia
Padapendekatam ini,dilakkan penggunaan beberapa golongan insektesida seperti golongan organiklorin, golongan organofosfat, dan golongan karbamat.namun, penggunanan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan.
c. Pengendalian Biologi
Pengendalian Biologi di tunjukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang besal dari bahan-bahan beracun.contoh, pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan.
d. Pengendalian Genetik
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat di gunakan, di antaranya stril technique, chitoplasmic incompatibility, dan chromosomal translocation.
Hal lain yang di lakukan untuk pengendalain vector di pesisir
a.       Migrasi burung
Masyarakat diharapkan mewaspadai, dan berhati-hati terhadap burung yang berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Sebab, kemungkinan burung membawa virus flu burung. Mengingat, burung-burung tersebut biasanya tersebar di pantai laut Pulau Jawa dan daerah lain yang banyak persediaan makanan burung.
Masyarakat harus melakukan gerakan lingkungan bersih dan sehat dalam menjaga kesehatannya. Dengan cara mengadakan semprotan pembasmi bakteri vaktogen dan obat insektisida untuk membunuh lalat dan larvanya dilaksanakan rutin seminggu sekali. Penyemprotan dikhususkan pada rumah penduduk di tepi pantai, pasar ayam, tempat pemotongan, dan kios ayam. penyemprotan disinfektan ini dilakukan sebagai upaya awal untuk mencegah dan menghambat berkembangnya virus flu burung.
b.      Pencegahan Vektor Masuk Di Daerah Pantai Atau Pesisir Melalui Kapal
Pencegahan vektor masuk di daerah pesisir atau pantai dengan dilaksanakannya program disinseksi yaitu untuk menghindari kapal dari serangga/vektor penyebab/penular penyakit (tikus, kecoak, nyamuk Aedes Aegypti/Anopheles) yang terbawa oleh alat angkut penumpang/barang di Pelabuhan.
Prosedur Tindakan Disinseksi Berdasarkan Peraturan Dirjen PP & PL
1. Penggunaan alat pelindung diri sebelum melakukan tindakan disinseksi misalnya, sarung tangan, masker, sepatu boat, dll
2. Penggunaan peralatan untuk disinseksi, misalnya, hand sprayer, mist blower, dan electric sprayer.
3. Pelaksanaan disinseksi dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk bagian-bagian kapal yang tersembunyi seperti lubang-lubang kecil di lantai dan tempat-tempat sulit menggunakan hand sprayer ataupun mist blower.
b. Untuk ruang lebar terbulca menggunakan ULV electric sprayer.
c. Mengisi formulir isian yang memuat data tentang nama bahan pestisida/insektisida yang digunakan volume berat bahan pestisida yang digunakan, bahan pelami, catatan (waktu, hari dan tanggal pelaksanaan), nama petugas pelaksana dan supervisor yang bertanggungjawab.
d. Membuat laporan pelaksanaan secara tertulis.

BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Pengendalian vektor adalah tindakan untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh Arthropoda penular penyakit termasuk reservoir

1.2     Saran
Pengendalian vektor di wilayah pesisir bukanlah hal yang mudah, karena itu di harapkan partisipasi pemerintah, sekarang saatnya melirik dan memperhatikan wilayah pesisir, mengingat begitu banyak potensi di wilayah tersebut termasuk sebagai tempat wisata bahari. Karena itu daerah pesisir pun harus diperhatikan tingakat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya.













DAFTAR PUSTAKA

Chandra budiman, “Pengantar Kesehatan Lingkungan”, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2007.










  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar